Lusy Novarianti

Lusy Novarianti, lahir di Bandung, 23 November 1969. Selepas SMA melanjutkan kuliah di IKIP Bandung jurusan Pendidikan Fisika, program Diploma 3. Pada tahun 199...

Selengkapnya
Navigasi Web
KETIKA AKU HARUS MEMILIH (Bagian ke-18)

KETIKA AKU HARUS MEMILIH (Bagian ke-18)

#TantanganGurusiana

Remedi

Hari ke-80

KETIKA AKU HARUS MEMILIH (Bagian ke-18)

Sejak pertemuannya dengan Anita dan Dimas, Satria semakin menenggelamkan dirinya pada tugas-tugas kuliahnya. Terkadang dia menghabiskan waktu dengan membaca buku di perpustakaan. Hampir tiap hari dia pulang menjelang magrib, dan sesampainya di rumah, Satria langsung masuk ke kamar, bahkan sesekali tidak keluar walaupun untuk makan malam, dengan alasan sudah makan di luar.

Alasan itu sudah cukup membuat Bi Acih, mengurungkan niatnya mengajak makan malam. Seringkali dia makan hanya berdua dengan suaminya. Bi Acih merasa sedih melihat anak majikannya itu. Satria selalu tampak murung, di balik tatapan matanya selalu tampak kesedihan. Namun dia dan suaminya tidak dapat berbuat apa-apa.

Hari itu, Setelah selesai kuliah Satria pergi ke perpustakaan, ada buku yang harus dikembalikannya, dan dia pun bermaksud untuk meminjam buku yang lain. Di tangga perpustakaan Satria berpapasan dengan Anita yang kebetulan baru keluar dari perpustakaan.

Satria merasakan wajahnya panas, saat matanya beradu pandang dengan mata Anita. Anita mengangguk tersenyum dengan wajah memerah, Satria membalasnya dengan wajah memerah pula.

Tanpa sadar Anita terus memandangi Satria, Hatinya berharap Satria akan menolehnya, tetapi Satria tidak bergeming. Tiba-tiba Anita merasa hatinya sakit. Bukan karena Satria tidak memperdulikannya, tetapi karena melihat Satria semakin kurus dan pucat. Ingin rasanya dia berhambur menghampirinya dan meminta Satria, untuk selalu menjaga kesehatannya. Rasanya sedih saat menghampirinya pun sudah tidak mungkin. Jika orang tuanya mengetahui Satria dekat dengannya, pasti mereka akan marah. Anita menunduk sedih.

Sesampainya di depan fakultasnya yang kebetulan berdampingan dengan perpustakaan, dilihatnya mobil Dimas menunggunya. Dimas melambaikan tangannya, Anita tersenyum menghampirinya.

“Terima kasih, Mas sudah datang”, ujar Anita

“Kebetulan aku lewat di sini”, Dimas tersenyum membukakan pintu untuk Anita.

Anita duduk di samping Dimas, duduk dengan kaku seperti biasanya. Dimas tersenyum, Anita selalu seperti itu, kaku dan tegang saat duduk di sampingnya.

“Tapi maaf ya, kali ini aku nggak bisa mampir ke rumah, hanya bisa mengantarkan sampai depan rumah saja. Ada kuliah”,ujar Dimas .

Anita mengangguk. Dia justru merasa senang Dimas tidak berlama-lama bersamanya. Entah mengapa, Anita merasa tidak nyaman jika bersama Dimas. Dimas terlalu memperhatikannya, terlalu melayaninya, sampai-sampai dadanya terasa sesak, karena perhatian Dimas terlalu berlebihan. Telepon-teleponnya yang selalu mengingatkan bahkan hal-hal yang sepele, sampai-sampai Anita merasa sulit bergerak. Tetapi apa boleh buat, Anita tidak bisa berbuat apa-apa, karena semuanya adalah keinginan orang tuanya dan orang tua Dimas, sebagai anak, Anita hanya dapat menerimanya.

“Pasrah... bertunangan dengan calon dokter ganteng itu, kamu bilang pasrah? Aduh... Nita, Nita.. kalau aku, dengan senang hati, bahagia..hmm.. kamu bilang itu pasrah, kamu menyedihkan sekali Nita”, celoteh Heni teman sekelasnya. Tentu saja Heni protes seperti itu, karena Anita mengatakan bahwa dia pasrah saja jika berjodoh dengan Dimas.

Anita tersenyum, matanya menerawang melihat-lihat pohon dan bunga-bunga di taman. Taman dengan pohon dan bunga-bunga yang indah itu membuat hatinya lega, dan bahagia.

“Kamu aneh, Nita.. masa calon dokter ganteng itu dikacangin. Kamu malah suka sama Satria ceking itu?. Memang sih, Satria itu tampan. Kulitnya halus seperti kulit bayi, hidungnya, matanya, bibirnya... aku akui menawan. Tapi tubuhnya terlalu kurus dan karena tinggi jadi kelihatan sekali kurusnya. Kaya engrang,tahu”, lanjut Heni

“Apaan sih.. “, Anita bangkit, kemudian melangkah pergi

“Hei... hei..malah pergi... Ya udah aku juga pulang ah..”, Heni mengikuti Anita.

Hari ini Dimas menelepon minta ijin tidak menjemputnya. Anita berjalan di sepanjang jalan setapak, yang biasa dia lalui bersama Satria. Ah.. sudah lama sekali tidak lewat jalan itu, terkadang bersama Dimas, atau Anita naik bis lewat jalan utama. Itu dia lakukan semenjak memutuskan untuk berpisah dengan Satria. Selain sering diantar Dimas, dia tidak mau berjalan sendiri.

Namun kali ini dia merasa rindu untuk menapaki jalan di mana biasanya selalu dilalui bersama Satria. Mengingat Satria, tiba-tiba hatinya terasa sedih, teringat saat berpapasan, Satria sama sekali tidak menoleh kepadanya, padahal ingin rasanya saling bertatapan, seerti dulu. Anita rindu tatapan mata indah Satria dan juga senyum manisnya. kIni Satria tidak lagi sering menatapnya, dan juga jarang tersenyum. Tiba-tiba hatinya menjadi sedih

BERSAMBUNG

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Anita merindu..

04 Jul
Balas

He he he.. terima kasih..Teteh..

04 Jul



search

New Post